Siapa Kuasai Pangan, Dia Akan Kuasai Dunia

KUB Tani Gempita (Karawang) - Pangan adalah kuasa, kini peran pangan menjadi lebih strategis dari segunung nuklir. Menguasai dunia tak lagi diperankan dengan kekejaman yang bersifat genosida atau kegeteriankegetiran lain yang telah dicatat dalam sejarah kebudayaan manusia. Menjadi pemilik dunia tak lagi dimulai dari gudanggudang senjata atau barak militer yang gagah perkasa.

Hari ini, segalanya dimulai dari tanah merah, diawali dari segala apa yang tumbuh di atas tanah. Dimulai dari orangorang yang selama ini kerap dijadikan komoditas politik-ekonomi-sosial-budaya, yaitu petani. Merekalah yang pada kenyataannya setiap hari bertempur, menjadi jenderal menjadi ahli strategi. Bukan, bukan di medan perang sana. Bukan pula berperang dengan sesama manusia. Melainkan bertempur dengan alam semesta, bahkan ruang dan waktu.

Pertempuran dengan alam semesata tak lagi dimaknai secara hegemonis semacam cara pikir Gramsci atau dikotomis seperti logika identitas Aristoteles yang sudah memosil, melainkan menjadi semacam pertempuran ritmis yang di dalamnya manusia tak melulu mengonsumsi semesta alam. Melainkan menghuni alam semesta.

Hidup adalah menghuni dunia, demikian Heidegger menyampaikan. Anak manusia dalam ruang dan waktunya mesti menjadi bagian dari ruang dan waktu, menjadikan keduanya bermakna, mencipta "segalagala yang ada dalam dirinya" menjadi rahmat bagi semesta.

Pangan adalah bagian dari ruang dan waktu yang di dalamnya anak manusia ber-ada. Maka, betapa dahsyatnya peranperan petani di ladang sana, merekalah sosok yang dalam tradisi Muhammad Iqbal disebut insan kamil, manusia yang memahami ruang dan waktu, manusia dengan  jiwa seribu tentara.

Indonesia hari ini, apa kabar? Sekian ratus juta penduduk negaranya, semuanya semua mulutnya tak satupun yang memberontak pada pangan, pasrah menjadi objek pangan, menjadi objek tahu gejrot, menjadi objek tauco Cianjur. Adapun pemberontakan itu justru kaprah, manusia berontak pada ruang waktunya, berontak pada ibunya, berontak pada sesuatu yang tak akan pernah terjungkal. Seraya berpikir jemawa bahwa dia mampu lakoni sejarah dirinya tanpa bercocok tanam! Bahwa dia lebih betah menggantungkan batang lehernya pada gugantisme kapitalisme dunia ketimbang merdeka di dalam ruang waktu, bersahaja di atas ladangladang.


Beberapa puluh tahun yang akan datang, ketika seruanseruan untuk mengelola ruang, memamfaatkan lahan, menghormati semesta alam mulai memudar, gemanya mulai pudar, mungkin kita baru tersadar. Bahwa cacing dalam usus kita tak hentinya menghajar. Siang dan malam.

Lalu, setelah setiap pulau di negara kita, setiap lumbunglumbungnya menjadi incaran dunia, akankah kita menjadi sejahtera? Seharusnya ya, akan tetapi pepatah mengingatkan ada gula ada semut, ada pangan ada peperangan. Di waktu yang akan datang. Berpuluh tahun yang menjelang.

Sedang di Bandung, 21 Oktober 2017
Acep Kamal (Petani penggarap lahan)



No comments

Powered by Blogger.